Senin, 10 Juni 2013

VALIDITAS BID’AH HASANAH VERSI SHUFIYYAH




Oleh: Abu Bakar Juri, Lc.


A.   PROLOG
            Islam adalah satu-satunya agama yang mampu berjalan selaras dengan perkembangan zaman, tabiat manusia yang berbeda-beda tidak menjadikan Islam lemah dalam menghadapi zaman yang selalu berkembang ini. Hanya dengan 6236 ayat dan 60000 hadits (kira-kira), Islam sanggup mengatur semua literatur kehidupan manusia, baik yang bersifat religi maupun non religi, karena ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut bersumber dari dzat pengatur alam semesta.

 Al-Qur’an, kitab suci umat islam dan Assunnah akan selalu eksis dalam menjawab tantangan zaman yang selalu berkembang, sehingga tidak ada satu kejadianpun di dunia ini, melainkan Allah SWT. telah menetapkan hukumnya. Tetapi dengan ayat dan hadits yang sangat terbatas, bagaimana islam menyikapi kejadian-kejadian baru yang silih berganti??.

Para ushuliyyin telah membukukan kaidah-kaidah ushul sebagai alat untuk menggali hukum dari Al-Qur'an dan Assunnah, sehingga semua problematika kehidupan manusia bisa terjawab sesuai dengan Al-Qur’an dan Assunnah. Seperti kaidah “Al-amru Yaqtadhi Al-wujub”“Annahyu Yaqtadhi Al-fasaad” dan pengklasifikasian lafadz menjadi universal dan spesifik, dsb. Sehingga dengan kaidah-kaidah tersebut, kiranya seorang mujtahid bisa menggali hukum untuk semua problematika masyarakat yang silih berganti.


Hal baru yang terjadi ditengah masyarakat, terkadang tidak kita dapati nash Al-Qur'an atau Hadits yang secara terang mengulas hukum hal tersebut, itu bukan berarti hukum hal tersebut tidak ada dalam Al-Qur'an atau Assunnah, melainkan disana terdapat nash-nash yang bersifat universal yang mencakup kejadian tersebut, atau terkandung dalam sebuah nash secara implisit yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang-orang tertentu, yang memiliki kadar ilmu yang luas.
Hal-hal yang demikian juga banyak menjadi asas perselisihan antar satu golongan dengan lainnya, karena setiap individu tentunya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menyikapi masalah baru yang tidak termaktub hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau Assunnah, sehingga dari sudut pandang yang berbeda inilah menghasilkan hukum yang berbeda juga. Tetapi perbedaan tersebut kiranya tidak pantas untuk dipermasalahkan, selagi perbedaan tersebut masih pada masalah ijtihadiyah dan masih dalam koredor kaidah-kaidah syari’ah.
Perbedaan pendapat adalah hal yang sangat wajar, karena perbedaan adalah fitrah manusia yang sudah terjadi sejak zaman awal islam yaitu zaman para sahabat. Yang sangat disayangkan, terkadang kita dapati beberapa golongan yang tidak mempunyai etika dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut, sehingga hanya cacimakian saja yang keluar dari mulut mereka, bahkan berani mengklaim orang yang beridiologi beda dengan mereka sebagai golongan yang sesat dan keluar dari koredor syari’ah, padahal masalah yang mereka perdebatkan adalah masalah yang bersifat Ijtihadiyah.
Diantara sebab terjadinya perselisihan pendapat yang berakibat cacimakian terhadap golongan lain adalah "tuduhan BID'AH DHOLALAH", yaitu anggapan bahwa "Semua hal baru yang terjadi dan tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, Sahabat dan Salafuna Sholih adalah Bid’ah dan semua Bid’ah adalah kesesatan". Maka berangkat dari tuduhan ini, banyak dari mereka yang mengingkari golongan lain tanpa didasari dengan etika, sampai berani melontarkan tuduhan kafir kepada saudara semuslimnya.

Padahal jika mereka mau menelaah kembali makna Bid’ah dengan benar, niscaya mereka akan sadar bahwa tidak semua hal baru yang terjadi sekarang ini adalah Bid’ah Dholalah, apalagi jika didasari dengan kaidah-kaidah ushuliyah yang sudah dibukukan oleh Ushuliyyin, maka sesungguhnya sebagian dari hal-hal tersebut masuk dalam keuniversalan sebuah teks ayat atau hadits, atau tersirat secara implisit, sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah Dlolalah, melainkan masuk kategori hal yang masyru’ atau Bid'ah Hasanah.

Berangkat dari sini, penulis tergugah untuk mengulas makna Bid’ah yang menjadi asas perselisihan antar mereka, apakah benar semua hal baru yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, Sahabat dan Salafuna Sholih menyandang satu predikat yaitu haram -seperti yang dipahami oleh sebagian golongan- atau tidak semua hal yang baru berpredikat haram??, karena mungkin saja hal tersebut masuk dalam keuniversalan sebuah teks ayat atau hadits, atau tersirat secara implisit.


B. DEFINISI BID’AH
  
1. Bid’ah secara Etimologi
Bid’ah ditinjau dari segi etimologi, mempunyai arti lebih luas dari Bid’ah secara terminologi, karena definisi Bid’ah jika ditinjau dari segi etimologi mencakup semua hal baru, baik hal tersebut positif, ataupun negatif dimata syari’at. Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan beberapa nash para ulama dalam mendefinisikan bid’ah secara etimologi:

Imam nawawi mendefinisikan bid’ah secara etimologi:
قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل على غير مثال سابق.
“Setiap sesuatu yang dikerjakan, yang sebelumnya tidak pernah ditemukan sepadannya”

            Imam Al-Izz Bin ‘Adbissalam mendefinikanya dengan:
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Mengerjakan sesuatu yang tidak diketahui pada zaman Nabi SAW”

Imam Ibn Hajar Al-Asqolany mendefinisikannya dengan:
كل شيء أحدث على غير مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما.
“Setiap sesuatu yang diadakan, yang tidak terdapat sepadannya, baik sesuatu tersebut terpuji ataupun tercela”.

Dari uraian beberapa definisi Bid’ah diatas, bisa kita tarik benang merah bahwa para ulama sepakat dalam pemaknaan Bid’ah secara etimologi yaitu “Hal baru yang sebelumnya tidak pernah ada atau ditemukan”. Dan mereka juga sepakat bahwa Bid’ah secara etimologi memiliki makna yang sangat luas karena mencakup semua hal baru, baik terpuji ataupun tercela.

Berangkat dari arti etimologi ini, sebagian ulama -diantaranya Imam Syafi’I, Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolaany- mengklasifikasi Bid’ah menjadi Hasanah dan Sayyi’ah, atau mahmudah dan madzmumah. Sebagian yang lain -seperti Al-Imam Al-‘Izz Bin Abdissalam- mengklasifikasi Bi’dah menjadi lima bagian, sesuai dengan hukum Syari’ah yaitu Wajibah, Mandubah, Mubahah, Makruhah, Muharromah. Dan cara untuk mengetahui bahwa Bid’ah tersebut masuk kategori wajibahmakruhan, mubahah dsb. dengan menimbang hal baru tersebut dengan Qowa’idussyari’ah dan Ushulussyari’ah, jika masuk pada kaidah wujub maka Bid’ah tersebut adalah Bid’ah Wajibah begitu juga seterusnya.

Pengklasifikasian Bid'ah oleh para ulama diatas, atas dasar bahwa Bid’ah secara etimologi mempunyai makna yang sangat luas sehingga mencakup semua hal baru, baik bersifat terpuji ataupun tercela.

Demikian nash-nash mereka yang mengklasifikasi Bid'ah menjadi mahmudah dan madzmumah, atau menjadi lima bagian sesuai dengan hukum syari'ah:

Imam Nawawi berkata mensyarahi hadits Jabir dalam kitab al-Minhaj (Syarh Annawawy)Bab: Takhfifussholah Wal-Khutbah:
قوله صلى الله عليه وسلم: (وكل بدعة ضلالة):
هذا عام مخصوص، والمراد غالب البدع. قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل على غير مثال سابق. قال العلماء : البدعة خمسة أقسام: واجبة، ومندوبة ومحرمة، ومكروهة، ومباحة. فمن الواجبة: نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك. ومن المندوبة : تصنيف كتب العلم، وبناء المدارس والربط وغير ذلك. ومن المباح: التبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك. والحرام والمكروه ظاهران. وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات، فإذا عرف ما ذكرته علم أن الحديث من العام المخصوص. وكذا ما أشبهه من الأحاديث الواردة، ويؤيد ما قلناه قول عمر بن الخطاب رضي الله عنه في التراويح: نعمت البدعة، ولا يمنع من كون الحديث عاما مخصوصا. قوله: ( كل بدعة ) مؤكدا (بك)، بل يدخله التخصيص مع ذلك، كقوله تعالى : ( تدمر كل شيء).

Al-Imam Al-Izz Bin ‘Abdissalaam berkata dalam kitabnya Qowaa’idul Ahkam fi Mashoolihil Anaam, juz. 2 Hal. 172-173:

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم .
وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة، وللبدع الواجبة أمثلة .
أحدها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم، وذلك واجب لأن حفظ الشريعة واجب ولا يتأتى حفظها إلا بمعرفة ذلك، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .
المثال الثاني: حفظ غريب الكتاب والسنة من اللغة .
المثال الثالث: تدوين أصول الفقه .
المثال الرابع: الكلام في الجرح والتعديل لتمييز الصحيح من السقيم ، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على القدر المتعين ، ولا يتأتى حفظ الشريعة إلا بما ذكرناه .

Al-Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolaany berkata dalam kitabnya Fathul Baary, Bab Al-Iqtida bi Sunani Rosulillah SAW:
والمحدثات بفتح الدال جمع محدثة، والمراد بها ما أحدث وليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة، وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فان كل شيء أحدث على غير مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما، وكذا القول في المحدثة وفي الأمر المحدث الذي ورد في حديث عائشة: (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد) كما تقدم شرحه، ومضى بيان ذلك قريبا في كتاب الأحكام وقد وقع في حديث جابر المشار إليه وكل بدعة ضلالة وفي حديث العرباض بن سارية وإياكم ومحدثات الأمور فان كل بدعة ضلالة وهو حديث أوله وعظنا رسول الله صلى الله عليه و سلم موعظة بليغة فذكره وفيه هذا أخرجه احمد وأبو داود والترمذي وصححه بن ماجة وبن حبان والحاكم وهذا الحديث في المعنى قريب من حديث عائشة المشار إليه وهو من جوامع الكلم قال الشافعي البدعة بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم أخرجه أبو نعيم بمعناه من طريق إبراهيم بن الجنيد عن الشافعي وجاء عن الشافعي أيضا ما أخرجه البيهقي في مناقبه قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة. انتهى
Dan masih banyak lagi nash-nash ulama yang mendefinisikan Bid’ah secara etimologi dan mengklasifikasikannya menjadi Mahmudah dan Madzmumah.

Dengan demikian tuduhan bahwa "Semua hal baru yang terjadi dan tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, Sahabat dan Salafuna Sholih adalah Bid’ah dan semua Bid’ah adalah kesesatan" tidaklah benar jika tuduhan tersebut berangkat dari makna Bid'ah secara etimologi, karena para ulama terdahulu sepakat bahwa Bid'ah secara etimologi mempunyai makna lebih luas dari Bid'ah secara terminologi, sehingga mencakup hal baru yang positif dan negatif.

2.  Bid’ah secara Teminologi
Untuk mengetahui makna Bid’ah secara terminologi, kita perlu memahami maksud Assunnah terlebih dahulu, karena makna Bi’dah bisa dipahami setelah memahami maksud Assunnah.

Lafadz Assunnah dan Al-Bid’ah adalah dua lafadz yang memiliki arti yang berlawanan. Dalam hadits, Nabi SAW. juga memadukan dua lafadz ini, dengan menjadikan Assunnah sebagai asal dan menganjurkan untuk berpegang teguh dengannya, kemudian disusul dengan larangan mengerjakan Al-Bid’ah. Kita tidak dapat mengatahui maksud dari Al-Bid'ah secara terminologi (yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW.) dengan benar, kecuali telah kita pahami maksud dari Assunnah yang merupakan asal terlebih dahulu, karena diantara cara untuk memahami sesuatu adalah dengan mengetahui lawannya.

Hadits yang memadukan lafadz Assunnah dengan Al-Bid'ah diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-‘Irbad:

صلّى بنا رسُولُ اللّه صلّى اللّهُ عليْه وسلّم ذات يوْمٍ ثُمّ أقْبل عليْنا فوعظنا موْعظةً بليغةً ذرفتْ منْها الْعُيُونُ ووجلتْ منْها الْقُلُوبُ فقال قائلٌ يا رسُول اللّه كأنّ هذه موْعظةُ مُودّعٍ فماذا تعْهدُ إليْنا فقال أُوصيكُمْ بتقْوى اللّه والسّمْع والطّاعة وإنْ عبْدًا حبشيًّا فإنّهُ منْ يعشْ منْكُمْ بعْدي فسيرى اخْتلافًا كثيرًا فعليْكُمْ بسُنّتي وسُنّة الْخُلفاء الْمهْديّين الرّاشدين تمسّكُوا بها وعضُّوا عليْها بالنّواجذ وإيّاكُمْ ومُحْدثات الْأُمُور فإنّ كُلّ مُحْدثةٍ بدْعةٌ وكُلّ بدْعةٍ ضلالةٌ.

Dalam hadits ini Nabi SAW. dengan jelas memadukan dua lafadzِ Assunnah dan Al-Bid’ah, yang pertama Nabi SAW. berkata:  فعليْكُمْ بسُنّتي وسُنّة الْخُلفاء الْمهْديّين الرّاشدين تمسّكُوا بها وعضُّوا عليْها بالنّواجذ yang mengandung anjuran untuk berpegang teguh dengan sunnahnya, kemudian disusul dengan perkataannyaوإيّاكُمْ ومُحْدثات الْأُمُور فإنّ كُلّ مُحْدثةٍ بدْعةٌ وكُلّ بدْعةٍ ضلالة ٌ yang mangandung peringatan agar kita menjauhi Bid’ah.

Kemudian apa yang dimaksud dengan Assunnah dan Al-Bid’ah pada hadits Nabi saw. di atas??

Assunnah secara etimologi dan terminologi syari’at bermakna Atthoriiqoh (metode), hanya saja ketika lafadz “Assunnah” pada hadits diatas bersumber dari Nabi pembawa syari'at, maka maknanyapun dikembalikan menurut istilah syari'at yang dibawanya juga, dan maksud Assunnah secara istilah syari’at adalah "Atthoriqoh" (metode).

Kemudian ketika lafadz "Assunnah" pada hadits diatas dimudlofkan pada “yaaul mutakallim”, maka maksud metode disini adalah metode Nabi SAW.
Pernyataan bahwa maksud "Assunnah" pada hadits diatas adalah "Atthoriiqoh" (metode) dikuatkan oleh hadits lain:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء.

lafadz Assunnah pada hadits ini jelas bermakna Atthoriqoh (metode), tidak mungkin diartikan yang lain.

Kemudian maksud metode disini adalah petunjuk Nabi SAW. yang ada pada hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Jabir bin Abdillah:

كان رسُولُ اللّه صلّى اللّهُ عليْه وسلّم إذا خطب احْمرّتْ عيْناهُ وعلا صوْتُهُ واشْتدّ غضبُهُ حتّى كأنّهُ مُنْذرُ جيْشٍ يقُولُ صبّحكُمْ ومسّاكُمْ ويقُولُ بُعثْتُ أنا والسّاعةُ كهاتيْن ويقْرُنُ بيْن إصْبعيْه السّبّابة والْوُسْطى ويقُولُ أمّا بعْدُ فإنّ خيْر الْحديث كتابُ اللّه وخيْرُ الْهُدى هُدى مُحمّدٍ وشرُّ الْأُمُور مُحْدثاتُها وكُلُّ بدْعةٍ ضلالةٌ....

Hadits ini menjelaskan bahwa maksud Assunnah yang bermakna Atthoriqoh di atas adalah Hudannaby (petunjuk Nabi), karena jika kita amati makna hadits ini, maka akan kita dapati kesamaan dengan hadits sebelumnya dalam segi makna, hanya saja pada hadits ini Nabi SAW. tidak menggunakan lafadz Assunnah untuk membandingi lafadz Al-Bid’ah, melainkan menggunakan lafadz lain yaitu “Al-Huda” yang berarti petunjuk. Dengan demikian jelaslah maksud Attoriqoh diatas adalah Al-Huda.

Maka dengan uraian diatas, jelaslah bahwa Assunnah pada hadits yang pertama, bukanlah Assunnah yang menjadi istilah muhadditsin, yaitu “Hadits Nabawi”, bukan juga merupakan istilah Fuqoha dan Ushuliyyin yaitu “kebalikan dari wajib”, melainkan makna yang dikehendaki disini adalah makna Syar'i yaitu petunjuk Nabi SAW, baik petunjuk tersebut berupa ucapan, pekerjaan, cara menerima dan cara menolaknya terhadap suatu kejadian yang dibuat oleh para sahabat di zamannya. Maka setiap hal baru yang terjadi dan tidak selaras dengan petunjuk Nabi SAW. adalah Bid’ah yang dimaksud pada Hadits Nabi saw.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa Bid’ah yang dimaksud dalam Hadits Nabi SAW di atas adalah setiap hal yang tidak sesuai dengan metode Nabi SAW. atau dengan redaksi lain “setiap hal baru yang bertentangan dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah”.

Makna inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW.:

كل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.

Artinya: “setiap hal baru yang tidak sesuai dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan akan berada dalam Neraka”.


C.   PENGKLASIFIKASIAN BID’AH MENJADI DHOLALAH DAN HASANAH VERSI SHUFIYYAH
Setelah kita mengetahui makna Bid’ah secara etimologi dan terminologi, dan kita juga telah mengetahui bahwa ulama yang mengklasifikasi Bid’ah menjadi Mahmudah dan Madzmumah, atau menjadi lima sesuai dengan lima hukum syari'ah, adalah pengklasifikasian Bid’ah secara etimologi, sekarang kita akan membahas Bid’ah Hasanah versi Shufiyyah.

Bid’ah Hasanah yang dimaksud oleh Shufiyyah adalah Bid’ah secara etimologi, karena mereka sepakat dengan ulama yang berpendapat bahwa Bid’ah secara etimologi tidak semuanya sayyi’ah, melainkan mempunyai lima hukum syari’at sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Imam Al-Izz bin Abdissalam diatas. Adapun Bid’ah Dholalah yang dimaksud pada hadits Nabi SAW. diatas adalah “Setiap hal baru yang bertentangan dengan Qowa’idussyari’ah atau Usulussari’ah”, dan inilah Bid’ah sayyi’ah secara terminologi yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW.

Artinya, ketika mereka dihadapkan dengan hal baru, maka mereka akan menimbang hal baru tersebut dengan Qowa’idussyari’ah dan Ushulussyari’ah, jika hal tersebut bertentangan dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah, maka hal tersebut masuk kategori Bid’ah secara terminologi yaitu Bid’ah Dholalah yang dimaksud oleh Nabi SAW di dalam Hadits. Dan jika sesuai dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah maka mereka tidak menganggap hal tersebut masuk kategori Bid’ah secara terminologi, melainkan mereka menganggap hal tersebut masuk kategori Bid’ah Hasanah secara etimologi. Inilah maksud perkataan para ulama, bahwa keuniversalan hadits Nabi SAW diatas telah dikhususkan oleh makna termonoginya.

Untuk menguatkan pernyataan saya bahwa maksud dari “Bid’ah Hasanah” menurut Shufiyyah adalah Bid’ah secara etimologi, silahkan anda lihat beberapa nash sebagian ulama Shufiyyah dibawah ini:

Sayyid ‘abdullah mahfudz al-haddad yang termasuk pembesar ulama shufi dalam kitabnya Al-bid’ah Wassunnah hal. 137, menyimpulkan beberapa nash ‘ulama dengan perkataannya:
            ويتلخص من كلامه: أن البدعة إما لغوية وإما شرعية، فالبدعة الشرعية هي التي تقابل السنة وهي مستقبحة بإطلاق، وهي التي شهد الشرع بقبحها وردها فهي المرادة في الحديث.
                وأما البدعة اللغوية فهي التي تشمل المحمودة والمذمومة، وبعرضها على قواعد الشرع وأصوله تتبين، إن كانت مما يستقبح وشهد الشرع بردها فهي المعينة بالبدعة الشرعية وهي المردودة بإطلاق، وإن لم يشهد الشرع بقبحها وردها فليست هي المرادة في الحديث، وحينئذ نأخذ حكمها بحسب ما يشهد لها من ندب أو إباحة بل ربما حكم لها بالوجوب لما يترتب عليها من المصالح وحفظ المقاصد.
                وعلى هذا فإن الذين قسموا البدعة إلى محمودة ومذمومة أو إلى الأحكام الخمسة إنما نظروا إليها من حيث معناها اللغوي الشامل للمحمود والمذموم، وهذا لا يتعارض مع قولهم: إن الحديث مخصوص، لأنهم يقصدون أن العموم فيه من حيث اللفظ اللغوي مخصوص بالمعنى الشرعي الخاص فإذا أجرينا النص على المعنى الشرعي فهو على عمومه.     

Doktor ‘Abdil Ilah bin Husain Al-‘arfaj dalam kitabnya Mafhumul-Bid’ah Hal. 81 menyimpulkan beberapa nash ‘Ulama:
إن النصوص السابقة تفيد أن للبدعة معنيين: الأول منهما معنى في اللغة، وهو كل محدث أولا على غي مثال سابق، والثاني منهما معنى في الشرع، وهو كل محدث يخالف أصول الشريعة وقواعدها ونصوصها، فالبدعة بالمعنى اللغوي تحتمل المدح والذم، وتشتملها الأحكام الخمسة، والمقياس في ذلك الاجتهاد والبحث في دلالات نصوص الشريعة وإشاراتها حول هذه الحادثة، أو ردها إلى مثيلاتها في الكتاب والسنة عن طريق القياس.
وأما بالمعنى الشرعي فإنها مذمومة، لأنها تخالف أصول الشريعة وقواعدها، فإن كانت بالمعنى اللغوي لا تخالف أصول الشريعة فهي بدعة في اللغة وسنة (أو واجبة أو جائزة في الشرع(.
Dan masih banyak lagi Nash-nash ulama Shufiyyah yang menyatakan demikian.
Pernyataan Syekh Ibn Rojabpun menguatkan pernyataan saya dalam kitabnya Jaami’ul-Uluum wal-Hikam, Hal. 299-301:

فقوله - صلى الله عليه وسلم - : (كلُّ بدعة ضلالة) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدّين، وهو شبيهٌ بقوله: (منْ أحْدث في أمْرنا ما ليس منهُ فهو ردٌّ)، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدّين، ولم يكن له أصلٌ من الدّين يرجع إليه، فهو ضلالةٌ، والدّينُ بريءٌ منه، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات، أو الأعمال، أو الأقوال الظاهرة والباطنة.
وأما ما وقع في كلام السّلف من استحسان بعض البدع ، فإنّما ذلك في البدع اللُّغوية ، لا الشرعية، فمنْ ذلك قولُ عمر - رضي الله عنه - لمّا جمع الناس في قيام رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال: نعمت البدعةُ هذه. وروي عنه أنّه قال: إنْ كانت هذه بدعة، فنعمت البدعة.

Dengan beberapa nash ulama Shufiyyah diatas jelaslah bahwa Bid’ah Hasanah yang mereka maksud adalah Bid’ah secara etimologi, bukan secara terminologi yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW., artinya tidak semua hal yang baru, -baik hal yang berkenaan dengan agama ataupun adat- masuk kategori Bid’ah Sayyi’ah, karena jika hal baru tersebut sesuai dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah maka hal tersebut bukanlah Bid’ah Sayyi’ah, melainkan masuk kategori Bid’ah Hasanah secara etimologi, dan jika tidak sesuai dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah, maka masuk kategori Bid’ah Sayyi’ah dan inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW:

كل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.

Dan bisa kita simpulkan bahwa pengklasifikasian Bid’ah oleh golongan Sufiyyah sama persis dengan pengklasifikasian Bid’ah oleh Imam Syafi’I, Imam Nawawi, Imam Ibn Hajar Al-Asqolany dan Imam Al-Izz bin Abdissalam di atas, dalam segi bahwa pengklasifikasian mereka adalah secara etimologi, bukan terminologi.


D. PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG PENAMAAN BID’AH HASANAH
Para ulama Shufi berbeda pendapat dalam menyikapi penamaan Bid’ah Hasanah tersebut, apakah hal baru yang ketetapannya dengan nash yang tidak shorih atau masuk dalam keuniversalan teks ayat Al-Qur’an atau Hadits tersebut cocok jika dikategorikan sebagai Bid’ah atau tidak, melainkan hal tersebut masuk kategori hal yang masyru’??, karena jika kita amati lebih mendalam, hal baru yang masuk atau sesuai dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah, itu artinya hal tersebut diakreditasi oleh syari’ah, dengan demikian hal tersebut masyru’.  

Penamaan “Bid’ah Hasanah” versi Shufiyyah ini hanyalah sebuah laqob yang mereka datangkan untuk membedakan hal yang ketetapannya dengan nash shorih dengan Bid’ah secara terminologi syari’at (Bid'ah Dholalah), yaitu hal baru yang bertentangan dengan Qowa’idussyari’ah atau Ushulussyari’ah, karena hukum jika ditinjau dari dalil yang menetapkannya ada dua macam, ada hukum yang ditetapkan dari nash yang shorih, ada yang tidak.

Coba anda lihat kata-kata “Bid’ah Hasanah”, susunan dua kata ini yaitu “bid’ah” dan “Hasanah” bukanlah susunan yang tanpa arti, karena kata-kata “bi’dah” disini mengisyaratkan bahwa hal tersebut adalah hal yang baru yang tidak terdapat pada zaman Nabi SAW, Sahabat dan Salafuna Sholih.

Pensifatan Bid’ah dengan “Hasanah” mengisyaratkan bahwa ketetapan hukum tersebut tidak dengan nash shorih, hanya saja hal tersebut masuk pada keuniversalan dalil-dalil yang sudah ada, dan masuk dalam Qowa’idussyari’ah atau mempunyai keserupaan dengan ibadah-ibadah yang telah tetap yang dikenal dengan Qiyas Syabah. Dan ini yang telah dibahas oleh Ushuliyyin dalam pembahasan “Al-muthlaq, Al-‘aam, Takhrijul furu’ ‘alal ushul dan Qiyas syabah”.

Kemudian jika kita mentahqiq kembali sesuatu yang mereka sebut sebagai “Bid’ah Hasanah”, maka kita akan menemukan hal tersebut bukanlah masuk dalam kategori bid’ah secara terminologi, tetapi justru hal tersebut masyru’ ‘inda syaari’, karena hal tersebut memang berdiri atas dalil-dalil yang sudah ada, hanya saja dalil tersebut tidak shorih, maka dari itu mereka datangkan laqob ini untuk membedakan dengan hukum yang ketetapannya dengan dalil yang shorih.

Berangkat dari pandangan inilah terjadi khilaf dikalangan ulama Shufi, sebagian mereka tidak setuju jika hukum yang ketetapannya dengan dalil yang tidak shorih ini dikategorikan sebagai Bi’dah, tetapi mereka justru menganggap hal-hal yang dianggap sebagai Bid’ah hasanah oleh sebagian yang lain sebagai hal yang masyru’, sehingga mereka tidak menggunakan laqob Bid'ah Hasanah yang digunakan oleh sebagian lainnya.

Perbedaan pendapat dikalangan ulama Shufi ini berangkat dari sudut pandang yang berbeda tentang Bid’ah, sebagian dari mereka menganggap Bid’ah disini adalah bid’ah secara istilah Syari’, sehingga mereka berpendapat bahwa "Bid'ah" tidak pantas disifati dengan "Hasanah", tetapi ulama Shufi yang lain mengatakan bahwa maksud Bid’ah Hasanah disini adalah Bid’ah secara etimologi yang didatangkan hanya sebagai laqob untuk hukum yang ketetapannya dengan nash yang tidak shorih.

Maka penulis tegaskan bahwa ikhtilaf diantara ulama Shufi adalah ikhtilaf lafdy, karena ikhtilaf mereka berangkat dari sudut pandang yang berbeda, sebagian mereka yang mengatakan hal yang ketetapannya dengan nash yang tidak shorih bukanlah kategori Bi’dah, karena maksud mereka adalah Bid’ah secara istilah Syar’i, dan sebagian lain yang mengatakan hal tersebut adalah Bid’ah Hasanah, karena yang mereka maksud adalah Bid’ah secara etimologi bukan terminologi.

Kita tahu bahwa istilah sebuah kaum tidak pantas untuk diperselisihkan, karena hanya istilah belaka yang tidak mempengaruhi perubahan sebuah hukum. Kaidah mengatakan:
لا مشاحة في الاصطلاح .


E. EPILOG

                Perbedaan pendapat adalah hal yang lazim terjadi, demikianlah tabi’at manusia, sebaiknya sesama muslim tidak mempermasalahkan perbedaan antara mereka jika memang perbedaan tersebut masih dalam masalah-masalah Ijtihadiyyah, karena hal tersebut bisa menjadikan Islam lemah karena penganutnya tidak bersatu dan saling menyalahkan saudara semuslimnya, apalagi masalah tersebut adalah masalah yang kecil, jangan sampai menghapus masalah yang lebih besar yaitu persatuan umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar