Oleh:
Abu Bakar Juri, Lc.
A. PROLOG
Ciptaan Allah SWT yang begitu indah membuat
manusia begitu tercengang. Langit yang biru menjulang tinggi tanpa pilar, yang
dihiasi dengan gemerlap bintang-bintang di malam hari, membuat manusia ingin
menatapnya setiap saat. Gunung-gunung hijau yang menjadi paku bumi pun ikut
memancarkan auranya, diiringi dengan kicauan burung-burung yang beragam warna, hingga
lisan pun tidak mampu untuk menggambarkan keindahannya. Subhanallah!!
Merenungi ciptaan Allah SWT adalah
hal yang diperintahkan olehNya, agar kita selalu bersyukur atas ni'mat yang
diberikanNya dan tahu atas kekuasaanNya, juga yakin bahwa tiada tuhan selain
Allah SWT.
Tetapi, ketika kita mengkaji
keagungan Allah SWT dalam Al-Qur'an dan merenungi lebih dalam tentang ciptaan
Allah SWT, dan kejadian-kejadian yang terjadi di alam ini, kita akan menjumpai beberapa
ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa seakan penciptaan Allah SWT atas alam
dan seisinya membutuhkan masa, padahal Allah SWT mampu menciptakannya hanya sekilat
kejapan mata manusia, bahkan lebih cepat dari itu.
Diantara ayat yang mengindikasikan
hal tersebut adalah ayat yang menerangkan tentang penciptaan bumi dan langit selama
enam hari:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ
حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ
الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ. [الأعراف: 54].
Artinya:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di
atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS: Al-'Arof, 54).
Pada ayat lain juga menerangkan bahwa
Allah SWT menciptakan langit tujuh selama dua hari:
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ
وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ
وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ. [فصلت: 12].
Artinya:
Maka Dia menjadikannya tujuh langit
dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha
mengetahui. (QS: Fussilat, 12).
Begitu juga peristiwa hijrah Nabi
Muhammad SAW ke Madinah bersama sayidina Abu Bakar RA yang memakan waktu cukup
lama, dimana Nabi SAW dan sayidina Abu Bakar RA begitu sabar menghadapi kesusahan
dan kepedian yang dijumpainya ketika di perjalanan, juga harus menahan lapar
dan sebagainya. Ketika itu pula para kafir Quraisy tak henti mengejar dan
mencari mereka.
Peristiwa itu juga menjadi pertanyaan,
“kenapa Allah SWT tidak menghijrahkan Nabi SAW dan sayidina Abu Bakar RA ke Madinah
dengan memindah mereka secara langsung, dengan secepat kejapan mata manusia,
sehingga mereka tidak harus menahan pedihnya hambatan-hambatan yang menimpa
mereka??, padahal sangat mudah bagi Allah SWT untuk melakukan hal itu??..”
Coba kita bandingkan peristiwa itu
dengan peristiwa yang sangat masyhur dikalangan umat Islam yaitu peristiwa
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini memakan waktu yang sangat singkat,
sampai dikatakan bahwa kecepatan peristiwa itu "ketika Nabi SAW kembali ke
tempatnya semula, tempat tersebut terasa masih hangat". Hal ini jika
didengar oleh non muslim, maka mereka tidak akan percaya dan akan mengatakan
bahwa hal tersebut mustahil terjadi. Tetapi Allah SWT berkehendak lain, dengan
kekuasaanNya, Allah SWT bisa melakukan hal itu.
Jawaban yang sangat tepat untuk semua
pertanyaan-pertanyaan diatas adalah “semua yang Allah SWT lakukan dan atur,
mengandung sebuah hikmah, yaitu Allah SWT mengajari kita untuk tidak selalu
tergesa-gesa dalam mengerjakan hal apapun”.
Oleh karena itu ketika kita merenungi
lebih mendalam tentang penciptaan alam ini dan juga kejadian-kejadian di
dalamnya, maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang diciptakan Allah SWT
secara tiba-tiba, tetapi justru kita akan menyimpulkan bahwa Allah SWT tidak
menciptakan sesuatu, kecuali dengan perantara dan bertahap, dan sekalipun ada
itu adalah hal yang sangat sedikit terjadi.
Tetapi ingat!! itu semua bukan
berarti Allah SWT tidak mampu menciptakannya tanpa perantara, Allah SWT mampu
meciptakan apa saja tanpa perantara, tetapi -seperti yang saya katakan diatas-
Allah SWT hendak mengajarkan manusia agar tidak terburu-buru dalam mengerjakan
sesuatu.
Karena itulah Allah SWT memerintahkan
orang mu'min untuk mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepadaNya, Sehingga nantinya
menjadi sebab cepat terpenuhinya hajat-hajat mereka, baik duniawi
ataupun ukhrowi. Hal ini telah dipaparkan dalam Al-Qur'an, surat
Al-Maidah, ayat 35:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ
الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
[المائدة: 35].
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Kemudian, perantara (wasilah) apa
yang dimaksud pada ayat diatas..??
Jawabannya adalah, lafadz الوسيلة pada ayat di atas bersifat
universal, karena “Nakirah” ketika kemasukan “Al Ta’rif” memiliki
arti 'aam (umum). Dengan demikian penulis katakan bahwa maksud wasilah
pada ayat di atas adalah semua bentuk perantara yang bisa dijadikan penghubung
(wasilah) dengan Rabbnya.
Dengan demikian Tawassul dengan para
Nabi, para Wali dan para Sholihin masuk pada keumuman lafadz الوسيلة pada ayat di atas. Dan untuk
lebih menguatkan pendapat ini, penulis akan membahas secara mendetail beserta
dalil-dalilnya pada kelanjutan tulisan ini.
B. HAKIKAT
TAWASSUL
Banyak orang yang salah dalam
memahami hakikat Tawassul, oleh karena itu di bawah ini penulis akan
menjelaskan hakikat Tawassul:
Pertama: Tawassul adalah salah satu metode berdo'a
dan salah satu pintu bertawajjuh kepada Allah SWT.
Tujuan hakiki dalam Tawassul adalah
Allah SWT. Adapun hal yang dijadikan wasilah hanyalah perantara belaka untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Dan orang yang beri'tikad selain itu, maka ia tergolong
orang yang musyrik.
Kedua: seseorang tidak akan bertawassul
dengan apapun kecuali karena memang kecintaannya terhadap wasilah tersebut, dan
beri'tikad bahwa Allah SWT juga mencintainya; karena jika tidak demikian, maka
niscaya ia akan menjauhinya dan membencinya.
Ketiga: orang yang bertawassul dan beri'tikad
bahwa hal yang ia jadikan wasilah bisa memberi manfa'at dan madarat dengan
sendirinya -sebagaimana Allah SWT-, maka ia tergolong orang yang musyrik.
Keempat: tawassul bukanlah syarat untuk
terkabulnya sebuah do'a, karena sesungguhnya orang yang berdo'a langsung kepada
Allah SWT, niscaya Allah SWT akan mengabulkan do'anya, sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat Al-Baqarah, ayat 186: وإذا
سألك عبادي فإني قريب dan surat ghoofir,
ayat 60: ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ.
C. PEMBAGIAN
TAWASSUL
Tawassul -dilihat dari segi disepakati
atau tidaknya- terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Attawassul
al-muttafaq 'alaih, adalah
Tawassul yang pensyari'atannya telah disepakati oleh semua muslim, yaitu
bertawassul kepada Allah SWT dengan amal sholeh, seperti puasa, sholat, membaca
Al-Qur'an dll. Dan bentuk tawassul ini harapan terkabulnya lebih besar dari
yang lain.
Dalil Tawassul ini adalah hadits yang menerangkan tiga orang
yang terjebak dalam gua, kemudian salah satu dari mereka bertawassul dengan
kebaikannya terhadap orang tuanya, dan yang kedua bertawassul dengan menjauhinya
dari perbuatan keji setelah memungkinkan mengerjakan sebab-sebabnya, dan yang
ketiga bertawassul dengan keamanahan dan penjagaannya atas harta orang lain dan
memberikan semua harta tersebut kepadanya. Setelah itu Allah SWT memberikan
jalan keluar untuk mereka.
2. Attawassul
al-mukhtalaf fih,
adalah Tawassul yang pensyari'atannya masih diperselisihkan oleh orang muslim,
yaitu Tawassul dengan selain amal sholeh seperti bertawassul dengan seseorang.
Seperti berdo'a dengan mengatakan: "Ya Allah saya bertawassul kepadaMu
dengan NabiMu SAW" atau "dengan Abu Bakar
Asshidiq" atau "dengan Umar Bin Khotthob", dll.
Bentuk Tawassul yang kedua ini tidaklah dilarang menurut
kami, bahkan masuk dalam keumuman ayat di atas. Dan jika orang yang melarang
bentuk Tawassul ini mau meneliti kembali, niscaya mereka akan mengakui bahwa Tawassul
ini bukanlah hal yang dilarang, sehingga tidak mudah mengkafirkan orang lain,
karena hakikatnya orang yang bertawassul dengan seseorang, ia bertawassul
dengan amalnya sendiri, karena orang yang bertawassul kepada seseorang, itu sebab
ia mencintainya dan ia beri'tikad bahwa orang yang dijadikan wasilah adalah min
ahlil khoir, atau beri'tikad bahwa orang tersebut dicintai oleh Allah SWT,
dan mereka juga mencintai Allah SWT, seperti firman Allah dalam surat
Al-Maidah, ayat 54: يحبهم ويحبونه.
Bukankah rasa cinta dan I'tiqod tersebut adalah sebuah amal
yang dinisbatkan kepadanya, yang akan dipertanggungjawabkan dan akan dibalas nantinya??,
maka jelaslah bahwa tawassul yang kedua ini sebenarnya bertawassul dengan
amalnya sendiri. Dan bartawassul dengan amal baik kita sendiri telah disepakati
kebolehannya.
Kemudian orang yang bertawassul, dengan mengucapkan:
"Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu SAW" atau "dengan Abu
Bakar Asshidiq" atau "dengan Umar Bin Khotthob", pada
hakikatnya maksud mereka adalah:
"Ya Allah saya mencintai fulan dan saya yakin bahwa dia
juga mencintaiMu, dan saya yakin engkau mencintainya dan ridlo kepadanya, maka
saya bertawassul kepadaMu dengan kekasih saya dan I'tiqod saya agar engkau
memberikanku ini dan itu"
hanya saja mereka tidak mengatakannya secara terang, karena
mereka yakin bahwa Allah SWT tentunya tahu maksud hambaNya.
Dengan demikian jelaslah bahwa perselisihan ini bukanlah
perselisihan yang serius, dan perbedaan pendapat ini adalah perbedaan secara
dzohir saja, karena sebenarnya dua tawassul ini sama jika kita mau menelitinya lebih
mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar