By : Abu Bakar EL_Barbasy
Ayam
mulai berkokok, adzan subuh pun dikumandangkan, ibuku membangunkanku supaya
berjama'ah Shubuh dan bersiap-siap untuk berangkat ke pesantren.
“Rian… ayo cepat bangun!!..
Sudah adzan!!.. sholat Shubuh berjama'ah, terus siap-siap berangkat ke pesantren,” terdengar suara lembut ibuku, aku langsung
bangun.
”Iya, Bu.. Rian bangun,” sahutku
padanya.
Aku langsung bangun dan
bersiap-siap untuk berjama'ah sholat Shubuh. Setelah sholat, aku siapkan barang-barang
yang mau aku bawa ke pesantren.
Hari
itu adalah hari yang menyedihkan bagiku, karena pada hari itu aku harus
berangkat ke pesantren dan harus
berpisah dengan ortuku untuk melanjutkan belajarku di pesantren. Waktu itu
umurku masih lumayan kecil untuk berpisah dengan ortu, umurku ± 12 tahun, makanya aku masih berat untuk
berpisah dengan ortu. Jam menunjukan pukul 08.30 WIB. padahal ortuku merencanakan
berangkat pukul 09.00 WIB. waktu tinggal setengah jam, aku duduk menyendiri
melamun sedih, karena sebentar lagi harus berpisah dengan ortu. Pukul 09.00 WIB
pun tiba, Ibuku memanggilku, “Rian.. ayo berangkat!!.., barang-barangnya
dimasukkan semua ke dalam mobil!!.. nanti kita terlambat, kantornya keburu
tutup…”
“Iya, Bu..” sahutku sedih.
Aku bergegas membereskan
barang-barang ke dalam mobil. Akhirnya berangkatlah kami ke pesantren, kami
sampai pesantren pukul 11.00 WIB., sesampai di pesantren, ortuku membawaku ke kantor
pesantren dan sekolah untuk mendaftar.
Ortuku mendaftarkanku ke sekolah
Salaf, itu juga merupakan keinginanku dari dulu, sebab dulu cita-citaku ingin
jadi "Mufakkir Islamy".
Waktu
berpisah pun tiba, ortuku berpamitan kepadaku untuk pulang, waktu itu aku
benar-benar sangat sedih, di tengah-tengah kesedihanku, ayahku berpesan sebelum
meninggalkanku, “Rian.. Abah pesan padamu.. Selama kamu belajar di pesantren
jaga dirimu baik-baik ya, Nak.. kamu harus bisa bahagiakan ortumu dengan
kesuksesanmu dalam belajar.. dan jangan berpacaran.. hindari virus wanita..
jangan sampai kamu mendekatinya, apalagi terkena virus tersebut..”
“Insya Allah, Bah.. Aku akan serius belajar
sehingga meraih kesuksesan dan akan jaga diriku dari pengaruh wanita..” jawabku.
Kemudian ortuku memelukku dan
pulang meninggalkanku. Aku merasakan hari itu adalah hari yang paling
menyedihkan bagiku.
Suasana
yang ramai dan menyenangkan membuatku sedikit demi sedikit lupa dengan ortu.
Aku mulai masuk belajar di sekolah Salaf, di sekolah itu hanya mempelajari
kitab-kitab kuning sehingga aku merasakan seakan berada di dunia baru.
Setahun,
dua tahun, sampai tiga tahun pun aku lalui duduk di sekolah salaf, sehingga
memori otakku semakin dipenuhi pengetahuan-pengetahuan agama yang bagiku itu
adalah hal baru. Apalagi dengan ke-originalan otakku yang belum
kemasukan virus-virus wanita, aku bisa menghafal bait-bait Al Imrithy
yang berjumlah ± 250 bait dalam jangka
waktu yang pendek, sekaligus faham maksud bait-bait tersebut dengan baik,
sehingga menjadikan guru-guruku percaya kepadaku dan disuruh menggantikannya
jika mereka berhalangan, sungguh bangganya diriku..
Sekolah
salafku punya acara rutin tahunan berupa pementasan siswa-siswa yang berhasil
menghafal bait-bait Al Imrithy, acara ini diadakan besar-besaran di depan
gedung sekolah yang berukuran lumayan luas dan mengundang seluruh
lembaga-lembaga yang bernaung di bawah pesantren, baik putra ataupun putri.
Tahun inilah giliran kami untuk pentas di atas panggung melantunkan bait-bait Al
Imrithy yang kami hafal dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung
seputar kandungan bait-bait tadi. Guruku pun datang ke kelasku dan mengumumkan
acara tersebut.
“Anak-anak.. kami umumkan bahwa tahun ini adalah
giliran kalian untuk pentas di atas panggung melantunkan bait-bait Al Imrithy. Kalian
jangan lupa meningkatkan pendalaman pemahamannya, karena nanti akan dibuka
pertanyaan untuk para pengunjung..” pesan beliau.
“Acaranya kapan, Ustadz..?” tanya kami padanya.
“Insya Allah acaranya dua minggu lagi..”
Mendengar berita bahwa acaranya
sudah sangat dekat, aku pun tingkatkan pemahamanku. Karena aku ingin nanti di malam
pementasan bisa menjawab pertanyaan dari pengunjung.
Acara
pun tiba, kami dibusanai seragam yang bagus oleh
sekolah, sehingga terlihat rapi
dan cakep, nama-nama kami dipanggil satu-persatu beserta nama-nama ortu kami,
suara organpun mengiringi langkah kami menuju panggung, dan berbaris
rapi menghadap pengunjung, kami lantunkan bait-bait Al Imrithy yang
berlangsung selama ± 1
setengah jam.
Tibalah
waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pengunjung. Seperti
biasanya, pemandu tanya-jawab mempersilakan kapada pengunjung untuk bertanya
dan membatasi pertanyaan sampai tiga pertanyaan saja, kemudian majulah salah
satu dari pengunjung untuk menanyakan pertanyaan yang pertama, setelah
pertanyaan dilontarkan, aku sebenarnya punya jawaban untuk pertanyaan itu, tapi
aku malu dan grogi untuk menjawabnya, akhirnya pertanyaan yang pertama dijawab
oleh temanku, begitu juga pertanyaan kedua, setelah itu aku berfikir, "Aku
harus berani menjawab, karena ini impianku sebelumnya, dan ini adalah
kesempatanku yang terakhir." Dan aku pun memberanikan diri untuk menjawab
pertanyaan yang terakhir, aku bersyukur sekali karena jawabanku sangat memuaskan
si penanya, acara pun selesai.
Pagi
setelah pementasan pun datang, aku berangkat ke sekolah dengan hati yang masih
senang, kebetulan guruku waktu itu tidak hadir, mungkin beliau kelelahan. Aku asyik
bergurau dengan teman-teman sekelasku, di tengah-tengah asyiknya bergurau,
terdengar di telingaku suara menanyakan namaku, "Kenal Rian gak??"
Suara itu masuk ke telingaku. Dengan rasa penasaran, aku keluar melihatnya,
ternyata terlihat anak berpakaian sekolah MA bertanya temanku. Temanku yang
ditanya langsung menunjuk ke arahku, akhirnya anak yang berpakaian sekolah MA
pun menghampiriku dan meminta waktuku untuk menyampaikan sesuatu, aku pun
bersedia, tanganku ditariknya menuju tempat yang sepi, di situlah aku dan dia
berbincang-bincang.
“Assalamu'alaikum…” salamnya kepadaku.
“Wa'alaikum salam.. Ada apa, Mas..??” tanyaku padanya.
“Kamu Rian yaa..”
“Iya, benar.. Ada apa yaa..??”
“Ada titipan salam dari temenku cewek, namanya Hani..
katanya salam kenal.. dia sering
lihat kamu di pengajian sentral putra-putri bareng abah yai.. semalam kebetulan
dia lihat kamu sewaktu jawab pertanyaan, trus minta ke aku nyampein salam ke kamu..”
“'Alaika wa 'alaiha salam.. Terus ada yang lain,
Mas..??”
“Udah itu aja.. makasih ya atas
waktunya.. ma'af udah ganggu..”
“Ya sama-sama..” balasku lalu dia melangkahkan kakinya untuk
meninggalkanku, tapi aku panggil kembali, “Sebentar!!, maaf sebelumnya, kamu
namanya siapa yaa..??” tanyaku untuk yang terahir kalinya.
“Namaku Arif.. aku sekelas sama dia.., ya udah,
aku pulang dulu yaa..” Akhrinya
dia pun melangkah pergi meninggalkanku. Di pikiranku masih terbenak rasa
penasaran pada salam yang dia sampaikan. Hani siapa yaa..?? ucapku di hati,
tapi aku berusaha untuk melupakannya, karena aku tidak mau terjerumus pada
jurang kegagalan sebab virus wanita, aku pun bisa melupakan hal itu.
Tapi parahnya, ternyata salam itu
datang tidak sekali-dua kali, hampir setiap hari aku menerimanya, salam itu
juga tidak hanya dititipkan ke Arif saja, bahkan dititipkan pada setiap anak
yang dianggap kenal denganku dan menyampaikannya setiap ketemu aku, mulai itu
aku tambah penasaran siapa sebenarnya Hani itu??, aku pun berusaha untuk
menghindarinya dan tidak meresponnya, karena pesan ayahku selalu datang di hatiku
yang akhirnya menghalangiku dari virus wanita itu.
Setengah
tahun pun berlalu tapi salam darinya masih selalu datang menghantuiku, ucapan
selamat dan hadiahnya pun datang di setiap moment-moment tertentu, tapi
keteguhan hatiku belum juga pudar, aku selalu menghindar dan tidak meresponnya.
Suatu
hari teman dekatku bernama khoer (dia adalah teman curhatku di setiap ada
masalah) datang menghampiriku dan mengajakku menemuinya untuk menyelesaikan
permasalahan ini, dia ingin supaya aku ngomong sama Hani, bahwa aku tidak
ingin diganggu dengan salam-salam yang dia titipkan pada teman-temanku dan agar
tidak mengasih sesuatu di setiap datangnya moment-moment. Akhirnya aku mau
demi ketenangan belajarku.
Kami
berdua pun datang menemuinya, akhirnya aku bisa bertemu dan bertatap muka
langsung dengannya dan itu adalah kali pertamanya aku melihat dia. Parahnya,
setelah aku melihat wajahnya, tujuanku yang sudah aku rencakan sebelumnya buyar
entah ke mana. Wajah yang putih, bundar dan cantik, ditambah senyum yang manis itu
ternyata telah merobek habis tujuanku, aku pun gagap berbicara karena grogi,
akhirnya Khoer, temanku, membantuku untuk menyampaikan tujuanku menemuinya,
perbincangan kami pun selesai, aku lihat tampak pucat di wajah Hani, karena
mungkin kekecewaannya padaku, kemudian kami pulang meninggalkannya.
Setelah
kejadian itu tampaknya muncul di hatiku rasa penyesalan, tampaknya hatiku mulai
luluh, aku juga sadar bahwa aku juga manusia yang punya hati dan perasaan,
wajah Hani selalu terbayang di pikiranku, berat sekali untuk melupakannya. Di saat
keadaanku yang seperti ini ternyata setan tahu, dengan kelicikannya membujukku
agar merespon dan mencari tahu tentang dia, bujukannya pun berhasil
mempengaruhi keteguhanku, mulai itu aku berusaha mencari tahu tentang dia
dengan menanyakan pada teman-teman dekatnya. Aku pun mulai titipkan salamku
untuknya, dan menunggu balasan darinya, hubunganku dengan Hani semakin dekat, dan
akhirnya pun kita berdua jadian, kita jalani hubungan itu secara backstreet
dan hubungan kami pun semakin menyenangkan, walaupun dia lebih tua dariku setahun.
Semenjak
jadianku dengan Hani, aku selalu disibukkan dengan menulis dan membalas surat
untuknya, aku selalu tidur malam untuk menunggu teman-teman kamarku tidur demi
untuk menulis surat untuknya, sejak itu hidupku seakan kucurahkan untuknya
semua, hidupku pun serasa diwarnai olehnya, tapi di balik itu semua ternyata belajarku
terkesampingkan, nilai-nilai ujianku pun menurun drastis, entah setan apa yang
merasukiku sehingga lupa tujuan utamaku di pesantran dan lupa pesan yang disampaikan
ayahku dulu.
Tidak
terasa hubunganku dengannya berlangsung cukup lama, aku jalani hubungan itu
selama tiga tahun walaupun aku jalani dengan cara backstreet, aku dengan
Hani pun bersepakat untuk menjalaninya sampai ke pelaminan nanti, kita berdua
saling berjanji untuk saling percaya dan menjaga cinta kita, bahagianya diriku
waktu itu.
Tapi tidak kusangka kesedihan pun datang
menimpaku, ternyata Allah berkehendak lain. Seminggu setelah kami sepakat untuk
saling percaya dan menjaga, kabar buruk terdengar di telingaku bahwa Hani
dijodohkan oleh abah yai dengan abdi dalemnya yang sudah lama mengabdi
padanya, namanya Alim, hari itu hatiku sakit seakan disayat-sayat pisau yang
tajam, akhirnya aku minta ke Hani agar kita bisa bertemu dan menjelaskan apa
yang terjadi sebenarnya, aku pun bertemu dengannya di suatu tempat, dan di situ
aku meminta Hani agar menjelaskan semuanya.
“Han.. Ada apa sebenarnya..??” tanyaku lemas, ”bukannya seminggu yang lalu
kita sudah saling berjanji untuk saling menjaga cinta kita??, kenapa sekarang
kamu mudah banget membalik telapak tangan??”
“Ma'afin aku, Mas.. aku ngga tahu harus berbuat
apa.. Abah yai menjodohkanku dengan Alim.. aku ngga berani untuk menolaknya..” jawabnya.
“Tapi Han.. kamu kan punya hak untuk memilih
pasangan hidupmu..”
“Ma'af Mas.. aku ngga bisa..
itu perintah Abah yai..”
“Han.. Apa kamu tega melihatku sedih??
Aku udah korbankan semuanya untukmu.. sampai waktu untuk belajarku pun aku
korbankan untukmu Han.. tapi sekarang kamu ngga bisa kasih buat aku yang
terbaik..”
Hani pun menundukkan wajahnya, di matanya
terlihat kristal air mata yang menetes ke pipinya, aku pun tidak tega
melihatnya menangis. “Ya udah.. ngga usah menangis.. kalo itu keputusanmu
yang terbaik, aku ngga bisa memaksa..” lanjutku, coba menenangkannya.
“Ma'afin aku Mas..” jawabnya
sambil menangis.
Akhirnya aku tinggalkan dia,
dengan pesanku yang terakhir untuknya, "Semoga bahagia ya Han.."
Penyesalan
pun datang di akhir, aku sangat menyesal atas kegegabahanku ini, aku sudah
mengecewakan ortuku, aku telah lalaikan pesan ayahku. Sekolahku berantakan,
nilai-nilaiku hancur, aku pun tidak mendapatkan wanita yang aku cintai, semua
itu akibat virus wanita yang menyakitkan!!. Semenjak itu aku berjanji untuk
tidak mencintai wanita siapa pun sebelum aku bisa meraih keberhasilan, selamat
tinggal kegelapan, dan selamat datang kemenangan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar